Ketaatan yang Sampai Berkoban
(Naskah Khotbah Natal)
"Image by James Chan from Pixabay"
“Khotbah tentang Ketaatan Sejati”
---------------------------------------------
PENDAHULUAN
Kita
tiba di bulan Desember. Natal sudah di
depan mata. Saudara siap menyambut Natal?
Saya
berharap kita bukan hanya bersiap untuk merayakan Natal. Saya berharap kita harus lebih dari sekedar
merayakan Natal. Saya berdoa kita dapat
menggunakan moment Natal untuk bersiap-siap mengenal dan menyembah Tuhan lebih
dalam. Amin?
Natal membawa banyak perubahan dalam kehidupan banyak orang.
Natal telah mengubah kehidupan orang-orang
yang mengalami Natal pertama kali, seperti:
Maria, Yusuf, Zakharia & Elizabeth, bayi Yohanes Pembaptis, para
gembala, orang Majus – bahkan Herodes.
Mereka
tersentuh oleh makna Natal yang sejati dan kemudian mengambil
keputusan-keputusan yang membuat kehidupan mereka menjadi berubah.
Saya
berdoa kita juga akan mengalami hal yang sama.
Amin?
Kita
akan tersentuh oleh makna Natal yang sejati; dan akhirnya mengambil keputusan-keputusan
yang akan mengubah arah kehidupan kita menuju ke tempat yang lebih tinggi,
lebih baik. Amin?
Saudara
siap?
KALIMAT PERALIHAN
Hari
ini, kita akan melihat kembali tokoh Natal yang termasuk tokoh yang paling
kurang disorot dalam peristiwa Natal, yaitu Yusuf.
Pelajaran
rohani apa yang Yusuf terima pada Natal pertama itu? Bagaimana kehidupan dia berubah semenjak itu?
Mari kita membaca dari Matius 1:18-25
18 Kelahiran
Yesus Kristus adalah seperti berikut: Pada waktu Maria, ibu-Nya, bertunangan
dengan Yusuf, ternyata ia mengandung dari Roh Kudus, sebelum mereka hidup
sebagai suami isteri.
19 Karena
Yusuf suaminya, seorang yang tulus hati dan tidak mau mencemarkan nama
isterinya di muka umum, ia bermaksud menceraikannya dengan diam-diam.
20 Tetapi
ketika ia mempertimbangkan maksud itu, malaikat Tuhan nampak kepadanya dalam
mimpi dan berkata: "Yusuf, anak Daud, janganlah engkau takut mengambil Maria sebagai
isterimu, sebab anak yang di dalam kandungannya adalah dari Roh Kudus.
21 Ia
akan melahirkan anak laki-laki dan engkau akan menamakan Dia Yesus, karena
Dialah yang akan menyelamatkan umat-Nya dari dosa mereka."
22 Hal
itu terjadi supaya genaplah yang difirmankan Tuhan oleh nabi:
23 "Sesungguhnya,
anak dara itu akan mengandung dan melahirkan seorang anak laki-laki, dan mereka
akan menamakan Dia Imanuel" -- yang berarti: Allah menyertai kita.
24 Sesudah
bangun dari tidurnya, Yusuf berbuat seperti yang diperintahkan malaikat Tuhan
itu kepadanya. Ia
mengambil Maria sebagai isterinya,
25 tetapi tidak
bersetubuh dengan dia sampai ia melahirkan anaknya laki-laki dan
Yusuf menamakan Dia Yesus.
ISI
Banyak orang berpikir bahwa mereka
sudah menjadi anak-anak Tuhan yang sungguh-sungguh taat kepada Tuhan.
Namun benarkah kita sudah sungguh-sungguh
taat kepada Tuhan?
Sama seperti kisah (dalam Matius
19:16-22), mengenai ada seorang muda yang kaya datang kepada Yesus dan bertanya
“Perbuatan baik apa yang harus ku perbuat untuk memperoleh hidup yang
kekal”.
Tuhan Yesus menjawab, turutilah
semua perintah Tuhan.
Orang muda ini kembali bertanya,
“perintah yang yang mana?”.
Lalu Tuhan Yesus menjawab lagi:
“Jangan membunuh, jangan berzinah, jangan mencuri, jangan berdusta, hormatilah
ayah dan ibumu, dan kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri”
Orang muda ini menjawab
dengan enteng, “oh, semua itu sudah
kulakukan sejak aku masih muda”.
Yesus kembali menjawab orang muda
yang kaya ini, “Masi ada yang kurang.”
Orang muda menjawab, “Masa sih?
Apa
lagi?”
Yesus menjawab: “Pergi, jual
segala milikmu, dan berikan kepada orang miskin.”
Orang muda menjawab, “Ups.. kalau
itu... saya harus pergi dulu”
Orang muda yang kaya ini berpikir
dia selama ini telah menjadi anak-anak Tuhan yang sudah cukup taat kepada
Tuhan. Kita juga mungkin berpikir demikian.
Hei, saya ke gereja setiap
minggu. Saya juga baca Alkitab setiap
hari. Saya baca buku rohani bahkan. Saya juga berdoa setiap hari: sebelum makan
dan sebelum tidur. Saya sudah cukup
taat.
Betulkah ketaatan kita sudah
cukup?
Setidaknya ada tiga level ketaatan:
(1) Taat Tuhan selama saya bisa,
(2) Taat Tuhan selama saya tidak rugi,
(3) Taat Tuhan dengan berkorban.
Dan Yusuf memberikan kepada kita teladan soal ketaatan yang sejati
adalah ketaatan yang berkorban.
Orang muda yang kaya tadi, sudah
taat Tuhan selama dia bisa. Mungkin saja
dia memang tidak pernah membunuh, tidak berzinah, tidak pernah mencuri, tidak
pernah berdusta, dan lain sebagainya.
Orang muda yang kaya tadi juga
sudah taat kepada Tuhan selama dia tidak rugi.
Oh, selama saya tidak rugi, tidak apa-apa taat kepada Tuhan. Bisa!
Bisa. Bisa. Tapi kalau saya
sampai harus rugi, sebentar dulu. Mikir
dulu, saya rugi berapa banyak, untung berapa banyak.
Tetapi orang muda yang kaya tadi
jelas tidak mau mentaati Tuhan saat dia harus berkorban. Dia menolaknya.
Sementara, bagaimana dengan
Yusuf?
Ia memberikan teladan bahwa taat
itu bukan sekedar kata-kata, bukan sekedar pujian yang dinyanyikan dengan
keluar air mata, bukan sekedar taat kalau lagi bisa, selama saya tidak rugi
sesuatu saya akan taat kepada Tuhan.
Tetapi taat yang sejati adalah
ketaatan yang berkorban.
Jika ketaatan kita kepada Tuhan
belum sampai harus berkorban, maka kita sebenarnya belum taat kepada Tuhan sama
sekali. Itulah teladan Yusuf untuk kita
semua.
Apa yang dimaksud dengan ketaatan
yang berkorban?
#1 Taat Walau Merasa Takut
Dalam firman Tuhan yang tadi kita baca, jelas bahwa Yusuf merasa
takut. Apa yang Yusuf takutkan?
Yusuf setidaknya takut bahwa
“tidak ada orang yang akan percaya”.
Penjelasan bahwa kami tidak
berbuat dosa! Kami tidak tidur bersama
sebelum menikah! Dia hamil karena Roh
Kudus! Siapa yang akan percaya?
Bahkan Yusuf pada awalnya tidak
percaya.
Pada saat Yusuf diberitahu oleh
Maria bahwa ia hamil, saya yakin Maria sudah menjelaskan bahwa ini dari Roh
Kudus! Saya tidak berzinah!
Tetapi
dari ayat ini dapat ditebak bahwa Yusuf mencintai Maria. Dia punya hati kepada Maria, walau ayat ini
juga menunjukkan kekecewaan Yusuf (= ia berniat menceraikannya).
Ia
jelas tidak percaya dengan penjelasan Maria bahwa ia ditemui malaikat dan
diberitahu bahwa ini adalah kandungan oleh Roh Kudus. Yusuf pasti mencurigai bahwa Maria selingkuh.
Kebaikan Yusuf adalah tampaknya
dia bukan merupakan orang yang emosional, karena ia tidak langsung dengan emosi
menceraikan Maria, melainkan mengambil waktu untuk mempertimbangkan itu.
Yang ada dalam perasaan Yusuf pada
waktu itu adalah jelas kecewa + (namun) sayang + lalu takut.
Mengapa Yusuf takut? Yusuf bisa
melakukan dua pilihan:
(1) bilang kepada orang-orang
bahwa Maria hamil dan ini bukan perbuatan dia.
Ini Maria berzinah entah dengan siapa = maka Maria akan dilempari batu
sampai mati.
(2) bilang kepada orang-orang
bahwa Maria hamil dan ini karena dia (siapa yang percaya kalau bilang dari Roh Kudus) = maka (*menurut Ulangan 22) Yusuf dan Maria akan
sama-sama berdua akan dilempari batu sampai mati.
Selain takut karena nyawa Maria
terancam, bisa jadi juga nyawanya terancam, mungkin juga Yusuf merasa takut
karena akan membuat keluarganya menjadi malu.
Dan Yusuf sedang mencari opsi yang
lain selain dua opsi ini. Lalu ia tidur.
Dan perhatikan ini baik-baik!
Bahkan setelah Yusuf bermimpi dan diberitahu oleh malaikat bahwa Jangan Takut! Malaikat tidak memberikan solusi agar Yusuf jangan menjadi takut.
Malaikat hanya menegaskan bahwa
Maria tidak berbohong. Malaikat hanya
memberikan perintah kepada Yusuf untuk menikahi Maria dan menamakan anak itu nanti
Yesus.
Bagaimana soal solusi masalah yang
tadi? Yang bahaya nyawa terancam
tadi? Tidak ada! Betul?
Hanya cerita yang diteguhkan,
bahwa Yusuf ini adalah rencana Tuhan, sesuai nubuatan, dan Maria tidak
berbohong.
Dan sebuah perintah dari Tuhan untuk
menikahi Maria dan menamakan anak itu Yesus nanti!
Namun karena ini perintah, maka
Yusuf melakukan perintah itu walau ketakutannya tidak hilang. Yusuf hanya beriman bahwa oke, Tuhan pasti
akan menolong! Bagaimana? Belum tau!
Tapi karena ini perintah, maka saya akan taat. Walau saya harus siap-siap berkorban,
kalaupun saya harus mati!
Bagaimana
dengan kita? Bisakah kita taat dengan
cara sama? Walau harus berkorban? Walau harus tetap merasa takut?
Tuhan saya mau taat perintah
Tuhan, tetapi saya merasa takut! Takut
dijauhi teman-teman! Takut dijahatin
oleh orang lain karena menyatakan kebenaran!
Takut jadi susah!
Banyak dari antara kita merasa
takut, lalu akan berdoa Tuhan hilangkan dulu rasa takut ini! Berikan dulu solusi, maka saya tidak takut
lagi dan akan taat kepada Tuhan. Berikan
saja jaminan agar tidak merasa takut.
Bagaimana kalau Tuhan tidak
memberikan jaminan, tidak memberikan solusi, dan hanya terus berkata taatlah,
walau harus berkorban?
Ilustrasi: 3 Teman Daniel:
Sadrakh, Mesakh, Abednego:
Taat Tuhan tetapi dibakar
hidup-hidup atau nyerah saja dan menyembah patung emas Nebukadnezar.
Daniel 3:17-18
Jika Allah kami yang kami puja sanggup
melepaskan kami, maka Ia akan melepaskan kami dari perapian yang menyala-nyala
itu, dan dari dalam tanganmu, ya raja; tetapi seandainya tidak, hendaklah
tuanku mengetahui, ya raja, bahwa kami tidak akan memuja dewa tuanku, dan tidak
akan menyembah patung emas yang tuanku dirikan itu."
Yusuf meneledani 3 teman Daniel ini,
dan Yusuf memberikan teladan kepada kita bahwa ia tetap taat walaupun ketakutan
tidak hilang. Walau ia harus berkorban
sekalipun.
Bagaimana dengan kita? Percayakah kita bahwa bagian kita adalah taat, bagian Tuhan adalah menolong?
#2 Taat Walau Merasa Sakit Kehilangan
Sebagai manusia yang sudah dewasa,
kita mulai mengerti bahwa bukan hanya sakit fisik yang mesti kita hindari.
Waktu masih kecil atau belum
dewasa, kita belajar apa bahayanya sakit secara fisik. Bahwa jatuh itu sakit – jangan sampai jatuh,
api itu panas – jangan main api, dan lain sebagainya.
Tetapi semakin kita dewasa kita
belajar bahwa ada sakit yang lain, selain sakit fisik, yang juga perlu kita
hindari.
Ada lagu yang cukup terkenal, berkata lebih baik sakit gigi
daripada sakit hati? Betul?
Sakit secara emosional bisa terasa lebih menyesakkan dada daripada
sakit secara fisik.
- Adalah sakit rasanya saat kita merasa kehilangan kesempatan yang sangat bagus, kesempatan emas.
- Adalah sakit rasanya saat kita merasa orang menyia-nyiakan kepercayaan yang kita berikan.
- Adalah sakit rasanya saat kita merasa impian kita sirna atau harus diubah karena sesuatu hal.
- Adalah sakit rasanya apabila kita difitnah, dan orang tidak mau mendengarkan penjelasan kita.
Dan kita semua maunta menghindari yang namanya rasa
sakit. Betul?
Adalah sakit rasanya saat kita kehilangan sesuatu yang sangat
berharga bagi kita. Bisa jadi itu
barang, impian akan masa depan, dan lain sebagainya.
Dalam hal
Yusuf, pada hari pertama sejak ia memutuskan mentaati Tuhan untuk segera
menikahi Maria, Yusuf sadar: banyak hal yang ia akan kehilangan sejak hari itu.
Yusuf pasti punya rencana yang
sudah ia susun sendiri sejak ia bertunangan dengan Maria.
Mungkin soal:
- mereka akan tinggal di mana,
- apa yang mereka akan lakukan di awal-awal pernikahan mereka,
- rencana nama anak yang akan mereka punya,
- bagaimana ia akan membanggakan anak itu kepada banyak orang, diantara keluarga
- disiapkan untuk menjadi penerus usaha keluarga, dan lain sebagainya.
= Semua itu kacau berantakan. Hilang tak berbekas.
Yusuf bahkan tahu bahwa dengan
rendah hati, karena anak-Nya adalah Yesus, yang sesungguhnya adalah anak Allah,
ia harus menyingkir dari layar utama.
Orang-orang tidak perlu tahu siapa
Yusuf, ayah Yesus. Yang harus dimuliakan
adalah Yesus.
Rencana yang harus berjalan adalah
rencana Yesus. Yang paling penting
adalah Yesus.
Dan saya menduga, itulah alasan mengapa hal mengenai Yusuf sangat jarang diceritakan dengan detail di dalam Alkitab.
Karena Yusuf memutuskan hal
yang sama seperti Yohanes Pembaptis, “Dia harus menjadi semakin besar, dan aku
harus menjadi semakin kecil” (Yohanes 3:30).
Injil hanya bercerita mengenai
Yusuf bertemu malaikat, Yusuf menikahi Maria, Yusuf lari ke Mesir bersama Maria
dan bayi Yesus, Yusuf membawa Maria dan Yesus kembali ke Nazareth sesudah
Herodes mati, dan lalu tidak ada apa-apa lagi.
Sampai Yesus umur 12 tahun di bawa
ke Bait Allah, disitu nama Yusuf kembali disebut sekali lagi. Setelah Yesus menjadi besar dan mulai
mengajar, ayahnya hanya dicatat sebagai seorang tukang kayu.
Bukankah bisa saja Yusuf menjadi orang besar, yang dihormati oleh banyak orang?
Ada yang menduga bahwa Yusuf sudah
meninggal ketika Yesus memulai pelayanan-Nya di usia 30 tahun. Bisa jadi.
Tetapi sebelum itu, apakah Yusuf tidak punya kesempatan untuk menjadikan
dirinya orang besar? Bisa juga. Kita tidak pasti.
Yang kita bisa pastikan adalah
bahwa di dalam firman Tuhan yang tadi kita baca, Yusuf disebut “seorang yang
tulus hati”, atau dalam bahasa aslinya berarti, “seorang yang benar, adil,
tulus, taat hukum agama”. Yusuf adalah
seorang yang beriman kepada Tuhannya.
Dan sejak ia mentaati perintah
Tuhan bahwa ia menikahi Maria dan menamakan bayi itu Yesus, ia sudah tahu bahwa
mulai hari itu, Yesus lah yang utama, rencana Yesus yang utama, Yesus harus
menjadi semakin besar, dan ia harus menjadi semakin kecil.
Bagaimana dengan kita?
Apakah kita taat kepada Tuhan,
Walau kita harus berkorban kehilangan sesuatu?
- walau kita harus mundur dari sebuah hubungan pertemanan yang kita tahu Tuhan tidak restui?
- walau kita harus kehilangan kesempatan yang besar sekali, karena cara mendapatkannya Tuhan tidak sukai?
- walau kita harus kehilangan banyak teman karena kita memilih taat kepada Tuhan?
- walau kita harus kehilangan impian kita sendiri, karena Tuhan punya rencana untuk kita yang jauh berbeda?
Apakah kita masih taat?
Yusuf memberikan teladan bahwa ia taat.
Bisakah kita mengamini dan
meneladani perkataan Yohanes Pembaptis, bahwa Yesus harus menjadi semakin
besar, Dia yang harus dimuliakan, Dia yang harus mendapatkan kehormatan, pujian?
Sementara aku harus menjadi semakin
kecil!
# 3 Taat Sampai Merasa ingin memberikan
segalanya
Sejak
hari pertama Yusuf mengambil Maria sebagai isterinya, perjalanan hidup tidak
menjadi semakin baik atau tentram.
Oleh
karena peraturan negara, mereka harus pergi dari kota Nazareth, tempat tinggal
mereka, menuju kota Betlehem.
Ternyata
menurut para ahli jarak antara kota Nasareth (tempat tinggal Yusuf dan Maria)
dengan kota Betlehem (tempat sensus sekaligus kelahiran Yesus) berjarak sekitar
150-170 Km.
Jauh? Relatif dekat kalau naik mobil atau naik
pesawat.
Namun bayangkan pada saat itu,
Yusuf bersama Maria untuk sensus penduduk dengan menempuh jarak sepanjang itu
dengan berjalan kaki atau naik keledai!
Dalam keadaaan Maria sedang hamil.
Setelah Yesus lahir, apa mereka
santai-santai?
Tidak, harus melarikan diri ke Mesir.
Dan tidak berapa lama kemudian, kembali ke negeri Israel sesudah Herodes
mati.
Berapa
harga atau biaya yang harus dibayarkan oleh Yusuf untuk semua itu? Banyak!
Puji Tuhan, ada orang majus
memberikan kepada mereka persembahan.
Apa cukup? Tidak mungkin cukup!
Lalu, apa Yusuf terus mengomel
selama harus bekerja membiayai semua ini?
Tidak pernah dicatat bahwa Yusuf mengeluh! Atau dia mau menyesal?
Yusuf tahu bahwa ketaatan kepada
Tuhan adalah bersedia untuk berkorban, bersedia untuk ingin memberikan
segalanya yang diperlukan untuk melakukan ketaatan itu.
Apakah saat kita berkata kita taat
kepada Tuhan, bersediakah kita berkata dengan sungguh-sungguh “Kuberikan
segalanya”? Mengapa aku mau memberikan
segalanya = karena aku mau mentaati Tuhan.
Ketaatan kepada Tuhan tidak pernah
menjadi sebuah kenyataan, apabila kita belum bersedia melakukan firman Tuhan
ini:
Roma 12:1
Karena itu,
saudara-saudara, demi kemurahan Allah aku menasihatkan kamu, supaya kamu
mempersembahkan tubuhmu sebagai persembahan yang hidup, yang kudus dan yang berkenan
kepada Allah: itu adalah ibadahmu yang sejati.
Ketaatan adalah persembahan. Dan persembahan bukan berupa uang saja, materi saja, tetapi hidup kita. Seluruh hidup kita.
Apapun yang saya lakukan dalam
hidup saya: dengan mata ini, dengan tangan ini, dengan kaki ini, semua akan
kulakukan dalam ketaatan kepada Tuhan untuk persembahan hidup baginya.
Aku mau memberikan segalanya. Aku mau berkorban. Hidup ini untuk kemuliaan Tuhan.
PENUTUP
Yusuf adalah ayah dari Yesus. Yusuf telah memberikan teladan kepada kita
untuk mengerti bahwa ketaatan kepada Tuhan adalah ketaatan yang berkorban.
Jika belum sampai harus berkorban,
maka kita belum taat kepada Tuhan.
Dan Yesus, anak Yusuf itu juga
memberikan teladan yang sama.
Filipi 2:8
Dan dalam keadaan sebagai manusia, Ia telah
merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib.
Ketaatan
Yesus kepada Bapa di Sorga-Nya menjadi teladan yang sama persis yang dilakukan
oleh ayah angkat di buminya, yaitu Yusuf.
Yusuf
bukan hanya taat, selama saya bisa.
Selama saya tidak dirugikan. Tetapi
Yusuf taat yang sampai bahkan mau berkorban.
Demikian
juga teladan Yesus, taat yang berkorban.
Sebab ketaatan yang sejati adalah
ketaatan yang berkorban. Jika ketaatan
kita kepada Tuhan belum sampai harus berkorban, maka kita sebenarnya belum taat
kepada Tuhan sama sekali.
Itulah teladan Yusuf dan Yesus
untuk kita ikuti.
Karena ketaatan yang berkorban,
kehidupan Yusuf menjadi berubah. Lebih
mulia dari sebelumnya.
Apakah hidup anda juga mau
berubah?
Apakah ketaatan kita kepada Tuhan
juga sudah sampai di level ketaatan yang berkorban?
Biarlah pesan Natal kali ini,
bukan hanya mengubah kehidupan Yusuf, tetapi juga kehidupan kita masing-masing.
---------------------------------------------
Khotbah Natal lainnya: Dampak Allah yang Mendekat
Kumpulan naskah khotbah lengkap: DI SINI.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar