Full width home advertisement

Post Page Advertisement [Top]

Ciri Kedewasaan = Mau Mengampuni

(Naskah Khotbah dari Lukas 17:3-4)

Orang dewasa mau mengampuni
Image by Jeff Jacobs from Pixabay

  

“Khotbah tentang Pengampunan dan Kedewasaan”

 


 

PENDAHULUAN

Dewasa tidak ada hubungannya dengan umur.  Dewasa adalah sebuah pilihan. 

 

Bukankah ada kata-kata bijak mengatakan: “Menjadi tua itu pasti, tetapi menjadi dewasa adalah sebuah pilihan.” ?

 

Seorang dewasa tidak meminta orang lain bertanggung jawab untuk kehidupannya sendiri.  Tetapi dia sendiri yang mengambil tanggung jawab.  Dia tidak melarikan diri dari tanggung jawabnya.

 

Seorang dewasa juga tidak menyalahkan orang lain untuk apa yang dia alami, termasuk juga Tuhan, bahkan iblis. 

 

 

Ilustrasi:

Seorang Bapak, sudah menjadi Kristen, masih suka marah-marah?

 

Dibilang karena diganggu iblis, perlu didoakan.  Setelah didoakan, sembuh.  Puji Tuhan!  Tetapi hanya 2 minggu.  Kemudian marah-marah lagi.  Apa yang terjadi? 

 

Karena masalahnya bukan iblis.  Iblis juga tidak mau di salah-salahkan.  Masalahnya ternyata di karakter.  Kemudian bapak ini di konseling untuk mengatasi emosinya, dan dia sembuh.

 


 


KALIMAT PERALIHAN

Demikian juga dengan kemampuan untuk mengampuni seseorang.  Ini sangat berkaitan dengan kedewasaan seseorang.

 

Karena ini seringkali bukan berbicara tentang tidak mampu, tetapi tidak mau.

 

Mari kita baca dari Lukas 17:3-4

Jagalah dirimu! Jikalau saudaramu berbuat dosa, tegorlah dia, dan jikalau ia menyesal, ampunilah dia.  Bahkan jikalau ia berbuat dosa terhadap engkau tujuh kali sehari dan tujuh kali ia kembali kepadamu dan berkata: Aku menyesal, engkau harus mengampuni dia."

 

 

ISI

Yang juga menarik tentang mengampuni adalah seringkali waktu seseorang masih kecil, ia lebih mudah untuk mengampuni temannya yang bersalah. 

 

Kita sering berkata anak kecil kalau sudah ribut, nanti bentar juga temenan lagi.  Nanti ribut lagi, temenan lagi.  Gampang sekali memaafkan dan memulihkan hubungan. 

 

 

 

Lalu mengapa saat seseorang usianya bertambah besar, kemampuan untuk memaafkan ini menjadi hilang atau lebih susah untuk mengampuni orang lain?

 

Karena seseorang dapat usianya bertambah besar, tetapi kedewasaannya bertambah kecil.

 

 

Saya sering mengatakan bahwa seorang dewasa adalah seseorang yang berpikir dulu baru bertindak, sementara anak kecil kebalikannya – bertindak dulu, baru berpikir. 

 

Kebenarannya adalah seorang dewasa seharusnya mudah mengampuni orang lain, seperti firman Tuhan yang tadi kita baca.  Mengapa mudah? 

 

Karena dia memikirkan dan mengetahui hal-hal ini:

 

 


 

#1  TIDAK MENGAMPUNI MERUGIKAN DIRI KITA SENDIRI

Orang yang tidak mau mengampuni adalah seperti halnya seseorang yang minum racun, tetapi berharap orang lain yang mati. 

 

Lagi, orang yang tidak mau mengampuni adalah orang yang membakar dirinya sendiri dan berharap asapnya akan menyakiti orang lain.

 

Firman Tuhan telah mengajar kita bahwa menahan pengampunan, menyimpan sakit-sakit hati adalah seperti menyimpan sesuatu yang busuk, yang basi, menumpuk sampah di dalam rumah hati kita.  

 

Sama seperti jika kita menyimpan sesuatu yang busuk, yang basi, menumpuk sampah di dalam rumah; akhirnya tikus, lalat, kecoa akan mulai datang.  Mereka tidak perlu diundang untuk datang, mereka pasti akan datang, tanpa undangan, karena ada kotoran, karena ada sampah, karena ada kebusukan – mereka akan datang. 

 

Karena Alkitab menjelaskan kepada kita bahwa julukan iblis adalah “Beelzebul” (Matius 10:25).   Beelzebul, artinya adalah “The Lord of flies, dung-god”, tuhan dari kotoran, tuhan dari lalat.  Itulah julukan iblis di dalam Alkitab “tuhan dari kotoran, tuhan dari lalat”

 

Maka jika hati kita penuh sampah, penuh kotoran, maka itu undangan otomatis untuk iblis datang dalam hidup kita. 

 

Dan iblis bukan datang untuk senang-senang dengan saudara, ia akan datang membawa saudara kedalam pencobaan.


 

Perhatikan ini baik-baik!

Ada begitu banyak pencobaan yang seharusnya tidak perlu kita masuki, tetapi kita masuki gara2 kita tidak mau memberikan pengampunan. Ini menjadi sangat serius. 

 

Ketika kita memberikan pengampunan kepada orang lain, Tuhan melepaskan kita dari pada yang jahat, dari iblis, menjauhkan kita jauh dari pencobaan-pencobaan. 

 

Tetapi saat kita tidak mau mengampuni kesalahan orang lain, akibatnya kita menjadi masuk ke dalam pencobaan-pencobaan dari si jahat, dari si penyiksa, padahal seharusnya kita bebas dari pencobaan tersebut.

 

Maka renungkan hal ini baik2.  Apakah anda merasa cobaan hidup sedang banyak?  Apakah ada orang yang belum saudara ampuni?

 

Yang rugi kita sendiri kalau kita tidak mengampuni.  Dan yang untung juga kita sendiri kalau kita mengampuni. 

 

 

Ilustrasi:

Max Lucado menulis kisah tentang seorang istri menemukan suaminya mencium wanita lain.  Suami nya meminta ampun, berjanji tidak akan mengulangi, tetapi istri tidak dapat memaafkan.  Ia tidak mau memaafkan.  Dia mau membalas.  Ia minta cerai – walaupun anak-anak memohon mamanya untuk tidak bercerai, ia bersikeras. 

 

Perceraian terjadi, bahkan setelah bercerai suami memohon selama dua tahun untuk kembali.  Si istri tetap mau membalas dendam.  Ia tidak mau kembali bersama.  Akhirnya si suami berhenti mencoba untuk rujuk, dan menikah dengan orang lain. 

 

Si mantan istri seringkali bertemu tanpa sengaja keluarga sang mantan suami, mereka terlihat bahagia.  Ia melihat kepada dirinya sendiri: sudah tua, kesepian, tidak punya siapa-siapa.  Ia menyadari keegoisan dan kepala batu nya telah merusak hidupnya. 

 

Max Lucado menulis dengan tepat bahwa:

“Tidak setia memang salah.  Pembalasan dendam itu buruk.  Tetapi yang paling buruk adalah tanpa pengampunan”.

 

Mengampuni seringkali berarti tidak adil, tetapi melepaskan diri kita dari bahaya merusak diri sendiri. 

 

Melepaskan diri kita sendiri dari pencobaan-pencobaan yang dapat datang dari iblis. 

 

Melepaskan dari kita dari bahaya penyakit-penyakit bagi tubuh kita yang dapat muncul karena menyimpan kebencian dalam hati kita, seperti darah tinggi, stress, insomnia, kelelahan, sakit jantung, dan lain sebagainya.

 

 


 

 

 
#2  MENGAMPUNI TIDAK BERARTI MELUPAKAN

Mengampuni seseorang tidak harus berarti melupakan kesalahannya. 

 

Bahkan kita kadang tidak bisa lupa.  Betul? 

Betapa dia sudah menyakitkan atau mengkhianati kita.  Kita seringkali tidak bisa lupa. 

 

Sementara kita kadang SALAH diajar bahwa to forgive is to forget.

 

Seringkali kita diajar bahwa Tuhan mengampuni kesalahan kita dan tidak lagi mengingat-ingat dosa kita.  Itu betul!  Tetapi bukan berarti Tuhan menjadi amnesia, lupa semua kesalahan kita.  Tuhan pasti tetap ingat!  Betul? 

 

Tetapi  maksud dari Tuhan tidak ingat lagi ialah bahwa Tuhan telah mengampuninya dan tidak lagi menganggap itu sebagai masalah.

 

Kita dapat berbuat hal yang sama.  


Kita dapat mengampuni seseorang sementara masih ingat kesalahannya.

Tetapi walau kita ingat, kita bisa memilih untuk tidak lagi mempermasalahkannya, karena toh dia sudah kita ampuni.

 

Saya pikir test sesungguhnya bahwa apakah kita telah mengampuni seseorang atau belum, bukanlah apakah kita masih ingat atau sudah lupa kesalahan orang tersebut.  Tetapi test sesungguhnya adalah apakah ketika kita bertemu muka dengan muka dengan orang itu, atau setidaknya kita mendengar nama orang itu disebut, apakah hati kita tiba-tiba menjadi panas mendidih atau tidak?

 

Kalau sudah tidak lagi, maka itu berarti kita sudah mengampuninya.  Bukan masalah kita masih ingat atau sudah lupa.

 

 

 

Mengampuni juga tidak berarti membiarkan kesalahannya.  

Tidak juga berarti kita harus kembali mempercayai orang tersebut. 

 

Ada sebuah ungkapan berkata demikian:

“Forgiveness is given. Can be instantly given.  But Trust is earned, it takes time.”

 

Seseorang yang sudah kita ampuni tidak selalu berarti kita bisa mempercayai orang itu kembali.  Jika dia ingin mendapatkan kepercayaan kita kembali, dia harus berjuang untuk itu.

 

Bahkan tidak berarti kita harus berteman kembali dengan orang tersebut.  Kita dapat mengampuni seseorang, namun tidak lagi berteman dengan dia, setidaknya berteman akrab dengan dia.


 

Contoh 1

Seorang pembantu RT sangat dipercaya dan akrab dengan tuan rumahnya.  Lalu ketahuan bahwa pembantu ini ternyata mencuri dari tuannya.  Ia minta-minta ampun, jangan dipenjara.  Tuannya kasih pengampunan?  Boleh saja. 

= Tetapi apa itu berarti tetap mempercayai dia dan tetap memperkerjakan dia di rumah?  No!!!  Setuju?


 

Contoh 2:

Seorang sahabat yang sangat kita percaya, sangat akrab dengan kita.  Lalu ketahuan bahwa dia mencuri atau menipu kita.  Dia minta-minta ampun kepada kita.  Apakah kita ampuni? Tuhan berkata harus!!! 

= Tetapi apakah kita harus tetap akrab dengan dia?  Tetap percaya kepada dia?  Tetap jadikan dia sahabat?  Tidak!

 


Kita berdosa ketika kita tidak mau mengampuni.  Tetapi mengampuni tidak berarti melupakan atau tetap mempercayai orang tersebut.

 

“To forgive someone doesn’t meant to give that person a chance to hurt us one more time.”

 


Lalu apa artinya mengampuni?  

Artinya adalah melepas kebencian.  Tidak mempermasalahkannya lagi.  Itu yang Tuhan minta.

 

 


 

 

#3 TUHAN TELAH MENGAMPUNI KITA LEBIH DULU DAN LEBIH BANYAK

Tuhan mengilustrasikan setiap kali seseorang berbuat dosa seperti berhutang kepada Tuhan.  Ingat ilustrasi di Matius 18 (ayat 23-35)! 

 

Jika dosa adalah hutang kepada Tuhan, Berapa banyak utang kita kepada Tuhan?  BANYAK!!! Betul?  Dan semuanya diampuni oleh Tuhan.  Dianggap lunas!!! 

 

Maka ini prinsipnya:  Kecuali hutang pengampunan orang itu kepada anda LEBIH BANYAK dari hutang pengampunan anda kepada Tuhan, anda boleh tidak mengampuni orang itu.

 

*Tetapi apakah mungkin? Perbandingan dalam Matius 18 adalah utang pengampunan anda kepada Tuhan adalah 10 RIBU TALENTA (60 juta DINAR), sementara utang pengampunan orang kepada anda adalah 100 DINAR.

 

Kalau Tuhan mengampuni utang anda 60 JUTA DINAR, maka masa kita tidak mengampuni orang lain 100 Dinnar?

 

Tuhan tidak akan meminta anda mengampuni orang lain lebih banyak dari Tuhan sudah mengampuni kesalahan anda.  Anda tidak akan pernah rugi. 

 


Ilustrasi: Daniel, di Brazil (*Buku Max Lucado). 

Daniel adalah seorang berbadan besar dan berotot.  Dia bekerja di tempat fitness sebagai pengajar/instruktur fitness.  Tapi dia tidak puas hanya bekerja di tempat fitness, dia ingin memiliki tempat fitness sendiri.  


Bank bersedia memberikan kredit pembelian, asal ada satu orang yang bersedia ikut tanda tangan permohonan sebagai penjamin.  Kakaknya setuju. 

 

Mereka mengajukan permohonan berdua dan tanda tangan berdua.  Tidak berapa lama ada telp dari bank bahwa pinjaman sudah disetujui.  Ia senang bukan kepalang, tetapi menunggu sampai ia selesai bekerja.  


Sampai di bank, petugas bank heran untuk apa ia datang.  Ia bilang untuk mencairkan cek dana pinjaman.  Petugas bank berkata kakaknya sudah datang, ia menggunakan cek itu untuk membeli sebuah rumah.

 

Daniel marah sekali.  Ia tidak sangka kakaknya sendiri, saudaranya sendiri, dapat berbuat begitu jahat.  Begitu keji.  Dengan sangat marah, ia menuju rumah kakaknya, menggedor pintunya.  Kakaknya membuka pintu sambil menggendong anak perempuannya.  Kakaknya tahu Daniel tidak akan memukul dia kalau menggendong anak itu.  Benar, Daniel tidak memukulnya, tetapi ia berjanji, kalau ketemu di jalan, ia akan mematahkan lehernya.

 

Daniel marah besar, ia terluka.  Tidak ada jalan lain.  Daniel terpaksa terus bekerja untuk melunasi hutang pinjaman itu.  Dua bulan kemudian Daniel bertobat, mengenal Yesus, dan bersama istrinya menjadi orang Kristen yang sangat setia. 

 

Namun, ia tetap merasa tidak bisa mengampuni kakaknya tadi.  Hatinya terus mendidih kalau mengingat kakaknya itu.

 

Dua tahun tidak pernah bertemu, Daniel memang tidak mau bertemu kakaknya.  Namun suatu ketika di jalan, tanpa sengaja mereka bertemu.  Daniel melihat kakaknya dari belakang.  Dengan segera hatinya mendidih, ia mendekati kakaknya dari belakang. 

 

Sang kakak tiba-tiba juga berbalik dan terkejut melihat Daniel yang sudah sangat dekat, dan akhirnya menyentuh bahunya.  Dia sudah pasrah akan apa yang dapat terjadi. 

 

Daniel mukanya sudah merah, tetapi bukan malah mencekik dan mematahkan leher kakaknya seperti yang ia pernah janjikan, ia memeluk kakaknya itu dan menangis.  Kakaknya juga menjadi menangis.  Dan perdamaian terjadi.

 

 


 

Apa yang terjadi dengan Daniel?  


Daniel berkata saya melihat dia dari belakang dan ingin mencekik dan mematahkan lehernya.  


Tetapi ketika ia berbalik dan saya bisa melihat wajahnya, saya melihat mata ayah saya, pandangan ayah saya, wajah ayah saya di wajah kakak saya.  Dan kemudian kemarahanku hilang karena tersadar ia saudaraku.

 

Setiap kali kita susah untuk mengampuni seseorang, coba jangan lihat wajah orang itu, tetapi lihat wajah Tuhan yang sudah mengampuni engkau lebih besar dan lebih banyak.  Lihat wajah Tuhan, jangan wajah orang itu! 

 

Jika Tuhan sudah mengampuni lebih besar dan lebih banyak, apa kita tidak bisa mengampuni orang lain?

 

 

PENUTUP

Saya mengajak kita semua hari ini berdoa untuk mengampuni seseorang yang masih belum kita ampuni – jika ada.  Mari kita berkata kepada Tuhan, “Tuhan, saya memilih untuk mengampuni _________, bukan karena itu adil untuk dilakukan, tetapi karena itu adalah hal dewasa untuk dilakukan, dan karena Tuhan sudah mengampuni saya terlebih dahulu LEBIH BANYAK.”

 

 


 

Khotbah lainnya dapat ditemukan DISINI. 



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Bottom Ad [Post Page]